Minggu, 30 Januari 2011

Sebuah kisah salah pengertian .....

Sebuah kisah salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah rumah
tangga.
Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah
terlambat. Membawa nenek utk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya
bersama kami, malah telah mengkhianati ikrar cinta yg telah kami buat selama
ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di
kampung utk tinggal bersama.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya
harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga
tamat kuliah.
Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yg
menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan
sebagainya. Suami berdiri didepan kamar yg sangat kaya dgn sinar matahari,
tidak sepatah katapun yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan
memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata: "Mari,kita
jemput nenek di kampung".

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke
dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti
sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan dimasukan kedalam
kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba
mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku
berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti
itu.

Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah
dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata
kepada suami:"Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga?
Kan bunga tidak bisa dimakan?" Aku menjelaskannya kepada nenek: "Ibu, rumah
dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih
gembira". Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa:
"Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga."

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa
bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu,
setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengka n
kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan,dia selalu tanya itu berapa
harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara
keras.. Suamiku memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan kamu bisa
berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan
dalam rumah tanggaku mulai terusik.

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan
sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki masuk
ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah nenek selalu
cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Nenek selalu membuat
bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia
protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat
letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi
disaat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi
makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya: dia suka menyimpan semua
kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya.
Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana
terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.


Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci,
agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada
saat dia sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring
malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan
menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu,
aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi
kecewa dan marah."Apa salahku?"
Dia melotot sambil berkata: "Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan
dengan piring itu bisa membuatmu mati?"

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup lama, suasana menjadi
kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa?
Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu
bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan
terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar
mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana
tanggung jawabmu sebagai seorang istri?
Demi menjaga suasana pagi hari agar tidak terganggu, aku selalu membeli
makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata:"Luci,
apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu
tidak pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku dia berkata tanpa
menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya
berkata: "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap
pagi". Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu
perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar semua.
Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera
mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri
didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yg tajam, diluar
sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa
daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan
sengaja aku berbuat demikian!
Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek
melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh€ ¢â’ ¦â’ ¦ suamiku
segera mengejarnya keluar rumah.

Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.
Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku
sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak
mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan
kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau,
sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata:"Luci,
sebaiknya kamu periksa ke dokter". Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang
hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu.. Sebuah berita gembira
yg terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg
berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia
berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi
rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi
seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian
dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya
dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan
segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya
tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi..... mimpiku
tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir dengan deras.
Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi,
memikirkan sinar matanya yg penuh dengan kebencian, aku menangis dengan
sedihnya. Tengah malam,aku mendengar suara orang membuka laci, aku
menyalakan lampu dan melihat dia dgn wajah berlinang air mata sedang
mengambil uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin tanpa
berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.
Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg
sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta
dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan
masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di
kantornya..Di kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yg melihatku dengan
wajah bingung."Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu
lintas dan sedang berada di rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera
menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku
tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg terbujur
kaku.. Sambil menangis aku menjerit dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa
terjadi?"
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa
denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian.

Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek
berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku
mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat
sebuah bus yg datang ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa
pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu,
jika kami tidak bertengkar, jika........ .
..... dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh
dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga merasa
harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan
salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak.
Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku
rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku. Waktu
berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak
mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang
didalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah caf€ ¢Ã©, melalui keremangan lampu
dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam.
Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan
mengerti apa yg telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka
sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata apapun
karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke
arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan
menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku.
Suara detak jantungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara
menuju kematian.

Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak..
mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka. Malam itu dia tidak
pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi.
Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir.
Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku
mendapati lemari seperti bekas dibongkar.
Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin
menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan
semua ini. Tetapi itu tidak terjadi..... ...., semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri.
Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama,
hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi
ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya.
Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

"Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu.
Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak
perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah
bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya:
"Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya". Dia melihatku dengan
pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri,
jangan menangis, jangan menangis.
Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini
tidak keluar.

Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia
memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda
tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya."Luci, kamu hamil?" Semenjak
nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa
lagi membendung air mataku yg mengalir keluar dengan derasnya. Aku menjawab:
"Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi". Dia tidak pergi, dalam
keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan
badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku.. Tetapi di
lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa
diambil kembali.
Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata: "Maafkan aku,
maafkan aku". Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa.
Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara
kami telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah akibat
kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan
pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk
terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh
semua makanan pemberian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak
juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua
cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu
ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari, terdengar
suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah
permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan
berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit.
Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa........ . ,
itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yg aku
miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai
anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang
perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk
anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan
barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak
bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari kamarnya
selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi
tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku itu bukan
lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku
berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar,
sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya.
Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan,
dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yg mengalir
di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang
bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam
dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa
jika bukan dia?

Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih
sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih
sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan
anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku
memegang tangannya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan
menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris memanggil
namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya€ ¢â’
¦â’ ¦ aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun
untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan
sesakit seperti saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada
stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah
mukjizat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg lalu kata
dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi
peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek
lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih
berpikir dia sedang bersandiwara€ ¢â’ ¦â’ ¦ Sebuah surat yg sangat panjang
ada di dalam komputer yg ditujukan kepada anak kami.
"Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu.
Itu adalah harapanku.. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua
bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya
bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu.
Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap
segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan
saran ayah. "Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu
hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia
sungguh menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah orang
yg paling ayah cintai".

Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK , SD , SMP, SMA sampai
kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga menulis sebuah
surat untukku.. "Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yg paling bahagia aku
rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah
memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita
terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca
surat ini, berarti kau telah memaafkan aku.
Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.. Hadiah-hadiah ini aku tidak
punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita... Pada bungkusan hadiah
tertulis semua tahun pemberian padanya".

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak
kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata: "Sayang, bukalah
matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang
dan hangatnya pelukan ayahnya". Dengan susah payah dia membuka matanya,
tersenyum... ....... anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yg
mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah
menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air
mata........ .........

Teman2 terkasih, aku sharing cerita ini kepada kalian, agar kita semua bisa
menyimak pesan dari cerita ini. Mungkin saat ini air mata kalian sedang
jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah pesan dari
cerita ini: "Jika ada sesuatu yg mengganjal di hati diantara kalian yg
saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam hati".
Siapa tau apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan: Jika kita tahu
besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yg telah kita
perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan? Sebelum segalanya menjadi
terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan kita lakukan sebelum kita
menyesalinya seumur hidup.